BeritaSultra.id : RAHA : Kota ini merupakan kota penting bagi Kesultanan Muna. Bagaimana tidak, kota ini menjadi pusat pemerintahan Muna dan tempat tinggal para raja.
Wuna dibangun pada masa Raja La Kilaponto (1538–1541) dan selesai dimasa Raja La Posasu (1541–1551) serta dikelilingi oleh benteng yang berbentuk lingkaran. Bentengnya dibuat dari batu koral dengan panjang 8073 meter, tinggi sekitar 4 meter dan tebalnya sekitar 3 meter.
Wuna dahulunya adalah kerajaan berbentuk federasi. Di dalamnya terdapat bangunan Lakina (Raja) Muna (Istana Raja), Masjid, pasar dan tempat pengadilan, kediaman bhonto bhalano (Perdana Menteri/Menteri Besar) Tongkuno, kediaman mintarana bhitara (Hakim Agung) Tongkuno, kediaman bhonto bhalano Lawa, kediaman mintarana bhitara Lawa, Tempat Pelantikan Raja Muna, kantor bhanto bhalano, tempat para kapitalao (laksamana), hingga beberapa kuburan tertua (sebelum La Ode Huseini).
Jules Couvreur, dalam “Sejarah Dan Kebudayaan Kerajaan Muna” terbitan Artha Wacana Press, Kupang – 2001 menerangkan di kota ini terdapat masjid, pasar, dan kediaman para raja, bangsawan-bangsawan, serta walaka (Golongan Adat-Hukum).
Orang biasa dan bangsawan & walaka yang tidak memiliki jabatan dilarang untuk menetap di kota ini. Yang hanya diperbolehkan untuk menetap di kota selain raja dan bangsawan penting ialah keluarga dan pelayannya.
Walaupun orang-orang biasa dilarang untuk menetap, mereka boleh masuk kota pada saat waktu tertentu yaitu hari-hari pasar dan dipanggil oleh pimpinan. Selain itu mereka dilarang untuk naik kuda di dalam kota dan hanya pejabat saja yang diperbolehkan.
Namun para pejabat harus memberhentikan kuda di beberapa tempat tertentu dan ketika mereka sampai di tempat tersebut, mereka harus jalan kaki.
Menurut Couvreur, dalam berpakaian di dalam kota pun ada aturannya. Golongan masyarakat dikenal dari pakaian masing-masing.
Couvreur menulis “pengaturan tentang pakaian adat diberlakukan dibawah pemerintahan Titakono dan bhonto bhalano La Marati yang meliputi pakaian dan non pejabat, pakaian wanita dari berbagai golongan, dan perhiasan berbagai golongan”.
Setiap orang yang ada di kota dilarang menyelempengkan sarung di bahu. Seseorang boleh memakai Songkok namun harus dilepas apabila ada orang yang derajatnya lebih tinggi di kota.
Kota Wuna/Muna mulai ditinggalkan pada tahun 1861 ketika perang saudara pecah antara La Ode Kaili dan La Ode Tau untuk memperebutkan jabatan sebagai raja Muna.
Situasi kota yang semakin memburuk membuat orang-orang mulai meninggalkan Muna dan lama kelamaan akhirnya menjadi reruntuhan. Rumah terakhir yang berada di Kota Wuna/Muna dibongkar pada tahun 1910.
Couvreur sendiri berada di Muna sejak Oktober 1933 hingga Maret 1035, menjabat sebagai kontrolir onderafdeling Muna (setingkat bupati sekarang) pada pemerintahan kolonial Belanda.
Sekarang situs bekas kota berada di hutan belantara. Untuk sampai ke situs kota, Kita harus menyusuri hutan lebat dan medannya berat. Harus ditempuh selama satu jam untuk sampai ke lokasi. Di sana hanya ada reruntuhan kota, benteng, dan makam para raja terdahulu.
Editor Anakia