KENDARI, BERITASULTRA.ID – “Tiap harinya mereka dibayar dengan uang transport sebesar Rp 10.000 untuk mendatangi rumah-rumah murid difabel melakukan proses pembelajaran siswa,” kata Kepala Sekolah SLB Kusuma Bangsa Kendari, Ninis Sudarwati.
Hingga saat ini, pemerintah masih belum mengizinkan pembelajaran tatap muka bagi seluruh siswa. Kendati begitu alternatif pembelajaran lain pun diterapkan. Yaitu pembelajaran daring (virtual).
Walau terkesan menyulitkan, sejauh ini banyak sekolah dan murid yang dapat beradaptasi dengan pola baru itu. Namun, berbeda dengan kasus siswa SLB Kusuma Bangsa Kendari.
Tingkat kesulitannya berbeda untuk menerapkan pembelajaran daring. Mulai dari tingkat ekonomi keluarga murid yang mayoritas berada dibawah rata-rata, hingga kemampuan mereka menyerap pelajaran tidaklah gampang dilakukan.
Bahkan untuk memiliki gadget maupun laptop sangat tidak memungkinkan bagi seluruh murid yang ada. Sehingga pembelajaran luring (luar jaringan) menjadi satu-satunya metode yang harus diterapkan SLB tersebut.
Berbagai tantangan pun tetap ada dikalangan para guru. Mulai dari menempuh jarak rumah murid yang jauh, minimnya budget yang disiapkan, hingga sulitnya menemui para murid ketika berada dirumah.
Walau demikian para tenaga pengajar itu tak mengeluh ataupun menyerah. Malah hal tersebut menjadi motivasi tersendiri bagi mereka.
Yanggi Yaddi salah seorang pengajar di SLB Kusuma Bangsa adalah salah satu contoh. Jarak dan penghasilan yang minim bukan menjadi masalah bagi mereka yang mengabdikan diri demi pendidikan.
Bangun di pagi buta, hingga bergerilya mengajar di rumah-rumah murid menjadi asupannya semenjak pandemi melanda.
“Dari pukul 6 pagi atau paling lambat pukul setengah 7 pagi saya sudah berada dirumah murid untuk mengajar,” kata dia saat diwawancarai usai mengajar di kediaman muridnya, Rabu (24/2/2021).
Kadang malas dan rewel karena menunggu teman sebaya agar mau belajar menjadi tantangan Yanggi saat mengurus anak-anak tersebut.
Bahkan untuk membujuk murid yang tak mau belajar sendirian, ia malah rela kembali menjemput murid-murid lainnya agar si siswa mau belajar. Hal itu juga berlaku bagi seluruh tenaga pengajar di SLB Kusuma Bangsa.
Ditanya soal motivasi, awalnya Yanggi juga sempat tak kepikiran menjadi guru untuk anak difabel. Kata dia pertemuan dengan merekalah yang membentuk dirinya saat ini. Seperti ada ikatan antara dirinya dan anak-anak itu.
“Karena saya sering bertemu dengan mereka. Mungkin itu yang disebut tak kenal maka tak sayang. Hingga saya menjadi begitu peduli dengan masa depan mereka,” ujar Yanggi.
Saking pedulinya, ketika ia mengajar dengan murid yang jumlahnya kurang dari seharusnya, malah membuat dirinya gelisah dan mencari si murid. Ia benar-benar ikhlas menempuh profesi tersebut.
Tak semua orang mampu untuk mengajar. Ditambah mengurusi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Tentunya membutuhkan keahlian dan tingkat kesabaran yang tinggi.
Sebenarnya kesejahteraan guru juga menjadi prioritas utama bagi Kepala Sekolah SLB Kusuma Bangsa Kendari Ninis Sudarwati.
Namun apa boleh buat, untuk membangun maupun melengkapi fasilitas sekolah saja masih membutuhkan dana swadaya dan bantuan pihak lain.
Walau begitu ia tetap mendirikan sekolah tersebut dengan dana seadanya. Alasannya jelas karena profesinya yang merupakan seorang guru.
Ia ingin membuka sekolah gratis bagi anak-anak difabel yang kurang mampu, sehingga memiliki kesempatan yang sama dengan anak-anak normal yang mengenyam bangku pendidikan.
“Saya tidak pernah menjanjikan mereka (guru) kesejahteraan saat mau mengajar di SLB ini. Namun begitu mereka tetap mau mengajar dengan rasa ikhlas tanpa mengharapkan apapun. Tidak tega saya sebenarnya, tapi apa mau dikata saat ini kami masih sekolah yang kecil,” kata dia.
Seperti itulah gambaran para pengajar di SLB Kusuma Bangsa Kendari. Bekerja dengan ikhlas tanpa mengharapkan rasa pamrih.
Tepat rasanya dikatakan jika itulah profesionalitas guru yang tak dapat diukur dengan nilai rupiah.
Reporter: Gery