BeritaSultra.id: KENDARI – Kakus. Alat sederhana dan sehari-hari. Pelengkap hidup yang berguna untuk buang isi perut atau bahasa halusnya, buang air: besar ataupun kecil.
Jamban sudah diasosiasikan dengan tahi, muntah, air kencing, darah mens dan segala hal dianggap menjijikan yang berasal dari tubuh manusia. Walau lekat dan diasosiasikan dengan kotoran, penyair Wiji Tukul sempat menyebutkannya sebagai kritik terhadap negara yang tidak mempedulikan rakyat atas nama kepentingan pembangunan negara.
Katanya “Nasionalisme itu nasi, dimakan jadi tahi.” Jamban adalah tempat ke mana tahi-tahi itu bermuara.
Menurut Nadya Karima Melati dalam essainya “Toilet dan Modernisasi”, pergerakan peradaban menuju zaman modern melengkapi tubuh untuk berdisiplin dalam buang air. Baik lokasi maupun tata caranya. Sadar atau tidak, toilet dijadikan ukuran ‘kemajuan’ suatu peradaban.
Dalam bidang arsitektur, kakus mencerminkan budaya setempat. Bahkan filsuf asal Slovenia, Slavoj Zizek menyatakan bahwa ideologi tiap-tiap negara pembentuk Eropa yakni Perancis, Jeman dan Anglo Saxon tercermin dari bentuk kakus mereka.
Kakus Perancis yang lubangnya terletak di belakang menunjukan semangat Perancis untuk melakukan revolusi Bastile. Kakus orang Inggris yang berada di tengah dan dikelilingi oleh air memperlihatkan semangat orang Inggris yang gemar berlayar dan minum bir dan kakus orang Jerman yang lubangnya di bagian depan memperlihatkan etika berpikir menginvestigasi dan mengobservasi. “Mengapa didepan?” Karena orang Jerman akan meneliti sendiri fesesnya seloroh Zizek.
Kita baru mengenal toilet di abad ke-19. Sebelum ada toilet, warga pribumi buang hajat di kali atau mengeduk tanah di pekarangan bagi warga desa
Menurut Erlinda Sukmasari, Kontributor dari Cultura Magazine, dalam “Asal Usul Toilet di Dunia”, Toilet sendiri berasal dari Bahasa Prancis, toilette, yang artinya ruang ganti pakaian. Pakaian perempuan di zaman itu cukup rumit sehingga ketika buang air mereka harus melepas seluruh gaunnya. Orang Amerika menyebutnya sebagai wash room sebagai ungkapan halus untuk menjelaskan apa yang mereka lakukan di dalamnya. Bukan buang air, mereka akan mengaku baru selesai mencuci tangan.
Di zaman penjajahan VOC sebelum abad ke-19 pun dipercaya dinegeri ini belum ada atau belum umum dijumpai sebuah toilet.
Hal ini terlihat di gedung-gedung bersejarah bekas VOC di abad 19 seperti gedung Museum Sejarah DKI Jakarta di jalan Fatahillah 1, yang dulunya digunakan sebagai kantor pemerintahan pun tidak kita jumpai ruang toiletnya.
Lalu bagaimana orang-orang kota Batavia buang hajatnya waktu itu? Ya pakai ember, nanti kalau malam di buang ke sungai, karena peraturan pemerintah Hindia Belanda melarang buang hajat di sungai pada siang hari, untuk menghindari pencemaran sungai dan agar baunya tidak mengganggu orang lewat
Sayangnya peraturan itu berimbas pada kesehatan orang di dalam rumah karena harus menyimpan feses itu seharian di rumah, alhasil penyakit seperti disentri dan malaria pun sudah tidak asing di waktu itu.
Baru setelah abad 19 pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan WC jongkok untuk masyarakat
Bisa dilihat toilet modern yang dipuji keindahannya waktu itu ada di gedung kantor perkeretaapian zaman Belanda yang dibangun di tahun 1902, yang kini dinamakan Lawang Sewu, Semarang. Konon, kemewahan toilet ini pernah diklaim sebagai bangunan toilet terindah di dunia dan dikagumi oleh Pangeran Charles.
Kini, hampir di setiap rumah kelas menengah dilengkapi dengan MCK (mandi, cuci, kakus) yang berdasarkan anjuran dari Kementerian Kesehatan RI No.416 Tahun 1990 yang harus memiliki kriteria jarak dengan sumber air minum, ketersediaan gayung dan sebagainya.
Negara, menghadirkan dirinya untuk mengatur masyarakat dalam urusan buang air dan menganjurkan penduduk untuk tidak lagi buang air besar di sungai atau kali melainkan membangun kamar mandi yang berfungsi untuk melakukan seluruh kegiatan membasuh.
Editor Anakia